Tuesday, 16 March 2021

BEGAWE TRADISI SUKU SASAK LOMBOK

Acara begawe sesungguhnya merupakan acara yang dilakukan oleh anggota masyarakat Lombok umumnya sebagai salah satu bentuk rasa syukur atas keberhasilan atau ketercapaian hajat tertentu seperti acara begawe pernikahan, khitanan, pembukaan ziarah haji, dan sebagainya. Izzati Yulia mengatakan bahwa begawe merupakan syukuran yang dilaksanakan oleh masyarakat Suku Sasak dalam merayakan sesuatu seperti pernikahan dan khitanan. Di samping itu, acara begawe juga diadakan berkaitan dengan memperingati acara sembilan hari salah seorang anggota keluarga yang meninggal dunia 1. Makna Tradisi dan Proses Terjadinya Tradisi Kebudayaan sesungguhnya lahir diakibatkan oleh keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam bentuk tingkah laku, pola hidup, perekonomian, pertanian, sistem kekerabatan, stratifikasi sosial, religi, mitos dan sebagainya. Kesemua aspek yang kemudian harus dipenuhi oleh manusia dalam kehidupannya yang sekaligus secara spontanitas akan melahirkan kebudayaan atau tradisi. Istilah tradisi dalam Kamus Ilmiah Populer, berarti kebiasaan turun temurun. Istilah tradisi atau kebiasaan berasal dari bahasa (Latin: traditio”diteruskan”) yang berarti sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu atau agama yang sama. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tradisi bermakna adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Tradisi tersebut merupakan buah karya atau produk nenek moyang sekelompok masyarakat yang sampai saat ini masih dipertahankan kelestariannya. Produk yang dikonsumsi tidak lagi dilihat dari fungsinya, akan tetapi dari simbol yang berkaitan dengan identitas dan status. Tradisi sering dimaknai dengan budaya, yaitu segala sesuatu yang selalu berkaitan dengan cara hidup sekelompok masyarakat, termasuk cara anggota masyarakat budaya itu berkomunikasi atau bertutur. Secara terminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian yang tersembunyi tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa kini. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan berfungsi pada masa sekarang. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal yang ghaib atau keagamaan. Sebagai sistem budaya, tradisi menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku yang bersumber dari sistem nilai dan gagasan utama. Tradisi juga merupakan suatu sistem yang menyeluruh, yang terdiri dari aspek perilaku ajaran, perilaku ritual dan beberapa jenis perilaku ritual dan beberapa jenis perilaku lainnya dari manusia atau sejumlah manusia yang melakukan tindakan satu dengan yang lain. Unsur terkecil dari sistem tersebut adalah simbol. Simbol meliputi simbol konstitutif (yang berbentuk kepercayaan), simbol penilaian norma, dan sistem ekspresif (simbol yang menyangkut pengungkapan perasaan). Tradisi dapat diartikan sebagai kumpulan benda material dan gagasan yang diberi makna khusus yang berasal dari masa lalu, karena itu tradisi pun mengalami perubahan. Tradisi lahir disaat tertentu, ketika orang menetapkan fragmen tertentu dari warisan masa lalu sebagai tradisi. Tradisi berubah ketika orang memberi perhatian khusus pada fragmen tradisi tertentu dan mengabaikan fragmen yang lain. Tradisi bertahan dalam jangka waktu tertentu dan mungkin lenyap bila benda material dibuang dan gagasan ditolak atau dilupakan. Tradisi mungkin pula hidup dan muncul kembali setelah lama terpendam. Koentjaraningrat mengatakan bahwa adat atau tradisi merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Adapun pembagian kebudayaan secara khusus terbagi menjadi empat bagian, yaitu: Pertama, lapisan yang paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkatan ini merupakan ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi tersebut bersifat luas dan kabur, tetapi walaupun demikian, biasanya hal tersebut berakar ke dalam bagian emosional jiwa manusia. Tingkat tersebut dapat kita sebut sebagai nilai budaya, dan jumlah dari nilai budaya yang tersebar dalam masyarakat relatif sedikit. Adapun contoh dari suatu nilai budaya, terutama yang ada dalam masyarakat kita, yaitu konsepsi bahwa yang bernilai tinggi adalah apabila manusia itu suka bekerjasama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar Kedua, merupakan tingkatan yang lebih konkrit, yaitu sistem norma. Norma-norma tersebut adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait dengan peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Peranan manusia dalam kehidupannya sangat banyak, terkadang peran tersebut juga berubah sesuai dengan kondisinya. Tiap peran membawakan norma yang menjadi pedoman bagi kelakukannya dalam memerankan tingkah lakunya. Jumlah norma kebudayaan lebih besar dibandingkan nilai kebudayaan. Ketiga, merupakan tingkat yang lebih konkret lagi yakni sistem hukum (baik hukum adat maupun hukum tertulis). Hukum merupakan wilayah yang sudah jelas antara batas-batas yang diperbolehkan dan hal yang dilarang. Jumlah hukum yang hidup dalam masyarakat jauh lebih banyak dibandingkan norma kebudayaan. Keempat, tingkat ini merupakan aturan-aturan khusus yang mengatur aktifitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam masyarakat. 2. Pengertian Begawe dan macam-macamnya Istilah begawe berasal dari suku kata bega dan gawe (bahasa lokal sasak), bega berarti bodoh gawe artinya memiliki fungsi dan berguna. Begawe oleh masyarakat Sasak diartikan sebuah kegiatan yang berguna meski menghambur-hamburkan atau gaya hidup berlebih-lebihan/ hedonis. Begawe dalam bahasa Arab diistilahkan dengan ungkapan walimah, walaupun penggunaannya biasa disandingkan dengan ‘arus (pengantin), yang berarti kebahagiaan dan kecerian karena adanya pernikahan seseorang. Berdasarkan penjelasan definisi di atas, dapat kita fahami bahwa yang dimaksudkan dengan walîmatul ‘urus itu adalah jamuan makan yang diadakan untuk meramaikan pernikahan pasangan pengantin. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, di mana beliau berkata, أَصْبَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَا عَرُوسًا فَدَعَا الْقَوْمَ فَأَصَابُوا مِنْ الطَّعَامِ ثُمَّ خَرَجُوا Artinya: “Ketika tiba waktu pagi hari setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjadi seorang pengantin dengannya (Zainab bin Jahsy), beliau mengundang masyarakat, lalu mereka dijamu dengan makanan dan setelah itu mereka pun bersurai.” Dalam masyarakat Sasak, tradisi begawe merupakan sebuah kegiatan adat yang menyertai proses rangkaian acara. Proses tersebut dimulai dengan musyawarah penentuan perencanaan, waktu, tempat, perlengkapan dan pembiayaan. Biasanya setelah perencanaan matang, maka keluarga akan menyiapkan perlengkapan dan bahan untuk digunakan pada hari puncak acara. Begawe oleh masyarakat Sasak diartikan sebagai sebuah kegiatan yang berguna meski menghambur-hamburkan atau gaya hidup berlebihan. . walaupun demikian, masyarakat Sasak terus mempertahankan kelestarian tradisi begawe tersebut. Ada beberapa istilah yang ada dalam tradisi begawe yang biasa dipraktekkan oleh masyarakat secara umum, di antaranya : 1). Mesilak Dalam begawe dikenal budaya menyilak atau mengundang. Menyilak biasanya diberitahukan secara langsung dari rumah ke rumah tidak dengan undangan yang tertulis, dalam proses menyilak dimana epe gawe (si punya hajat) menyuruh atau mengamanatkan seseorang atau disebut tukang pesilak untuk meberitahukan atau menyilak masyarakat untuk datang begawe ke rumah epe gawe. 2). Betolong (gotong royong) Biasanya 3 hari sebelum acara begawe dimulai dilakukan persiapan-persiapan begawe seperti membuat jajanan lauk pauk untuk suguhkan dan diberikan kepada para undangan. Untuk melakukan persiapan ini biasanya ibu-ibu dan bapak-bapak berbagi tugas, ibu-ibu bertugas membuat jajan dan lauk pauk, sedangkan bapak-bapak membantu mengupas kelapa, ares atau batang pisah, membersihkan nangka, mongkak atau masak nasi. sehingga terjalin kerjasama yang baik. 3). Begibung. Dalam budaya begawe para undangan yang datang disuguhkan jajanan terlebih dahulu kemudian disuguhkan kembali nasi dan lauk pauk yang lengkap dan disajikan dengan menggunakan nampan besar atau nare, biasanya satu nare diberikan untuk tiga orang atau dikenal dengan begibung, sehingga terjalin rasa kebersamaan yang erat. 4). Saling Berbagi/ ngejot Sebelum hari pelaksanaan begawe tiba, kaum ibu yang terdiri dari keluarga, kerabat dan tetangga pada berdatangan sambil membawa beras, gula, minyak goreng dan kebutuhan lainnya untuk membantu meringankan beban epen gawe. Sementara pada malam harinya, ibu-ibu yang lainnya yang telah mendapatkan undangan akan berdatangan sambil membawa gula dan beras sekedarnya saja dan biasanya, tempat atau alat yang dijadikan tempat menaruh barang bawaan ditinggal di rumah epen gawe dan akan diambil kembali keesokan harinya setelah hidangan berupa jajan dan lauk pauk serta hidangan lainnya suah disiapkan oleh epen gawe. 5). Berebak Jangkih Berebak jangkih adalah suatu acara atau kegiatan yang dilakukan oleh yang punya gawe bersama keluarga dan tetangga di sekitar rumah yang pelaksanaannya satu hari setelah pelaksanaan begawe. Acara tersebut biasanya diisi dengan bersi-bersi dan pengembalian alat seperti piring, nare, jambangan ( alat atau tempat memasak lauk) kepada pengurus banjar atau perkumpulan lainnya. Memperhatikan praktik begawe yang dilaksanakan di kampung-kampung, dapat dikatakan bahwa budaya begawe sarat dengan nilai positif yang dimulai dari pra begawe, saat begawe dan sampai pasca begawe. Hal ini sebagaimana dikatakan Izzatiyulia, budaya begawe banyak mengandung nilai pendidikan yang baik dimana di dalam begawe ini akan menjalin hubungan antar manusia dengan baik seperti terwujudnya keramahtamahan, menumbuhkan rasa kerjasama untuk bergotong royong, menciptakan rasa kebersamaan, meningkatkan tali silaturrahmi, saling berbagi, memperkuat tali persaudaraan dan ikut melestarikan budaya. Hal ini sejalan dengan teori evolusioner fungsionalis oleh Taclott Parsons (dalam Marsadi) adalah evolusi sosial secara umum terjadi karena sifat kecenderungan masyarakat untuk berkembang, yang disebutnya sebagai kafasitas adaptif yaitu kemampuan masyarakat untuk merespons lingkungan dan mengatasi masalah yang selalu dihadapi manusia sebagai makhluk sosial.

No comments:

Post a Comment

Popular Posts